TIGA TARIAN

Tari Manaweang

Tari manaweang berasal dari Kabupaten Yapen Barat, yang menceritakan kisah seorang pemuda yang gagah dan mempunyai ilmu gaib tinggi, ilmu pemuda ini sering di sebut suanggi. Pemuda Suanggi ini suka membuat warga takut dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari-hari seperti, nelayan dan bertani.

Menurut warga Yapen, setiap kali manaweang atau suanggi muncul, maka selalu ada korban jiwa. Perbuatan manaweang ini membuat masyarakat resah. Akhirnya kepala suku dan masyarakat sepakat untuk membunuh manaweang. Dan upaya kepala suku serta masyarakat pun berhasil membunuh pemuda manaweang.

Setelah manaweang dibunuh, masyarakat bersuka cita, karena sudah tidak ada manaweang atau suanggi lagi, yang mengganggu mereka

Tarian manaweang ini, ditarikan oleh empat belas orang, dengan menggunakan tujuh gerakan dasar tari.

Tejalu Meto’e
Kampung Te Tape atau yang lebih di kenal dengan Skow, terletak Distrik Muara Tami, Kota Jayapura. Di Kampung Skow Berdiam, Keret Rollo, Ramela, Patipeme dan Membilong.

Salah satu ceritra yang menarik dari keempat keret tersebut adalah Suku Membilong, menurut sejarah, mereka berasal dari Wutung, Vanimo, Papua New Guinea.

Kisah perjalanan Suku Membilong dari Wutung, sampai di Skow diceritakan ulang dalam bentuk tarian Tejalu Met’o.

Dengan Tarian Adat Tejalu Met’o, Suku Membilong mencari dana, untuk pembangunan gereja. Sebelum di lakukan tarian adapt, kaum ibu dan anak-anak menghiasi tubuh mereka dengan menggunakan daun bungga yang berwarna kuning, dan mayang pinang.

Daun berwarna kuning, yang digunakan di tubuh menandakan mama-mama yang cantik, manis, yang sudah melahirkan anak-anak peranakan, dari Suku Membilong.

Sedangkan mayang pinang atau weja merupakan simbol kehidupan, atau melambangkan kebiasaan masyarakan menankap udang, mecari bia dan melaut.

Dalam tarian tersebut, setiap anak-anak peranakan, wajib menggunakan daun kuning, sebagai simbol, bahwa anak tersebut adalah anak peranakan yang berasal dari suku Membilong.

Selain itu, mereka menggunakan kain yang bermotif Papua New Guinea sebagai tanda bahwa mereka berasal dari kampung mereka di Papua New Guinea.

Dalam tarian Tejalu Met’o daun kelapa yang dipikul, merupakan simbol layar perahu, dan pelepah kelapa sebagai dayung dayungnya. Simbol tersebut merupakan peralatan yang dibawa suku Membilong saat bermigrasi ke kampung Skow Yambe.Mereka juga menggunakan la atau noken dari daun kelapa untuk menaruh ikan, dan taa sebagai kalawai untuk menangkap ikan.

Lagu yang di nyanyikan menceritkan, kehidupan anak dari suku Membilong, yang di tinggalkan oleh orang tua, karena meninggal, dan mereka harus mencari makan sendiri.

Tarian Iyaphae Oophae
(Babrongko Sentani)

Papua, memilki tiga ratus duabelas suku, yang memilki tradisi dalam kehidupan sehari-hari, salah satu tradisi tersebut adalah proses pembangunan rumah kepala suku atau ondoafi.

Untuk membangun rumah kepala suku di perlukan, tiang penyangga yang dalam bahasa Sentani di sebut bombei. Kayu bombei yang di gunakan, harus diukir terlebih dahulu dengan motif ukiran buaya. Ukiran tersebut melambangkan bahwa suku tersebut berasal dari kampong Babrongko di Danau Sentani.

Untuk melestarikan dan menceritakan budaya mengukir tersebut, suku Babrongko yang berada di pinggir Danau Sentani, membuatnya dalam bentuk Mande.

Sedangkan tarian Iyaphae Oophae adalah proses mengantar kayu yanag telah di ukir, tarian ini akan diiringi dengan nyanyian yang menggunakan alat musik wahkku atau tifa.

Dalam tarian tersebut, penari membawakan kayu yang di gunakan untuk membuat rumah, dengan menggangkat salah seorang yang dianggap tokoh untuk dapat memberikan komando kepada penari. (Andy Tagihuma)

Posted in TARIAN. 3 Comments »

3 Responses to “TIGA TARIAN”

  1. CAROLYN FATIMAH Says:

    kerennnnnnnnnnnnnnnn…

    beud artikel nya………….

  2. Mambri Teges Says:

    Adakah ertikel antropologis atau sejarah soal makan pinang di papua? tOLONG KALAO ada kirim ke sy ya.

    makasih
    mt


Leave a reply to budayapapua Cancel reply