Ngoceh tentang Pers dan Sistem Pendidikan

BEBERAPA waktu lalu saya diminta jadi pembicara di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat untuk sebuah diskusi panel “Pers Mahasiswa di Era Kebebasan Pers” bersama beberapa pembicara lain dari koran Rakyat Merdeka dan majalah Aku Anak Saleh. Saya bicara menyimpang dari tema diskusi dengan mengatakan bahwa pers mahasiswa dalam bahaya. Seorang peserta diskusi memprotes penyimpangan omongan saya tapi juga menanyakan apa buktinya pers mahasiswa dalam bahaya.

“Kalau acara dengan tema besar ini hanya mampu menyedot sembilan orang dari seluruh mahasiswa di UIN, apakah ini bukan kondisi bahaya?” kata saya.

Tapi sebetulnya saya serius tentang kondisi bahaya pers mahasiswa. Menurut saya kondisi pers mahasiswa, pers umum, atau pers partisan yang didanai oleh partai-partai menjelang pemilu sama bahayanya dengan hal-hal lain yang tidak berurusan dengan pers. Ia sama bahayanya dengan PSSI yang tidak pintar memainkan bola dan ceroboh mengatur jalannya kompetisi. Sama bahayanya dengan birokrasi yang lamban, berbelit-belit, dan teledor. Sama bahayanya dengan KPU yang mencoba menyuap auditor. Sama bahayanya dengan dunia politik yang cerewet dan menguras banyak duit dan hanya melahirkan makelar dan lintah yang gendut-gendut. Sama juga bahayanya dengan… uwahhh panjangnya. (“Dalam kasus begini kau bisa menggunakan ‘dll’,” saran Pablo Neruda kepada Mario Jimenez dalam novel Il Postino karangan Antonio Skarmeta.)

Saudara-saudara sekalian, saya bilang di forum diskusi tersebut bahwa segala ‘dll’ itu, segala sektor yang mengharukan keadaannya itu, hanyalah sebuah risiko yang mudah diduga dari kegagalan sistem pendidikan kita. (Sekadar ngomong memang enak sekali, ya. Di bangku depan sekali duduk tiga atau empat orang dosen dan saya lihat salah seorang mulai menegakkan posisi duduknya.)

Contoh kegagalan sistem pendidikan kita:

– Pelajaran membaca? Enggak, deh, murid sekolah lebih senang nonton tivi.

– Pelajaran menulis? Terima kasih, tapi lebih enak bergosip saja.

– Pelajaran bahasa Indonesia? Oh, gw nggak suka, deh.

– Pelajaran bahasa Inggris? Ampuuun!

– Pelajaran matematika? Waduh, kok susah sekali, ya!

– Pelajaran sejarah? Sumpah, menghafal tahun-tahun kejadian bukan perkara mudah, lho.

– Pelajaran agama? Apalagi yang ini, malah terjadi perang antaragama melulu.

– Pelajaran moral pancasila? Maaf, sudah lama sekali pelajaran ini membosankan.

– Pelajaran fisika? Ah, gw nggak suka rumus-rumusnya.

– Pelajaran geografi? Tengkyu, ya. Nggak menarik juga.

Adapun mengenai pelajaran-pelajaran yang lain, Saudara-saudara, kondisinya setali tiga kepeng. Sebab cara mengajarnya toh sama saja, kurikulumnya juga sama saja, dan kebijakan umumnya juga sama saja. Jadi, apa berhasilnya? Tentu ada, dong.

Mari kita simak beberapa fakta berikut:

– Apakah gedung sekolah mudah roboh? Ya

– Apakah proyek perbukuan, dengan pelaku tender yang itu-itu melulu, berjalan lancar dan sulit ditembus oleh siapa pun? Ya

– Apakah solidaritas para siswa meningkat? Ya, terutama dalam ekstra kurikuler tawuran.

Begitulah, saudara-saudara, sistem pendidikan kita, sebagai penyedia sumber daya manusia,

telah berhasil melahirkan manusia-manusia yang tangguh, ganas, dan lucu di segala lapangan.

Sumber ; Berbagi AS Laksana

Leave a comment